Penyakit Strategis Ruminansia Besar

Penyakit merupakan salah satu faktor penghambat kinerja produksi dan reproduksi ternak. Oleh karena itu, penyakit yang bersifat menular sering mendapat perhatian serius yang penanganannya harus dilakukan secara cepat dan tepat (Hardjoutomo, et al, 1997). Untuk mengantisipasi masalah tersebut, salah satu kebijakan kesehatan hewan adalah melindungi budidaya ternak dari ancaman wabah penyakit, terutama terhadap penyakit strategis.

Penyakit strategis atau penyakit hewan menular (PHM) strategis adalah penyakit yang tergolong sangat patogen, secara ekonomis sangat merugikan dan ekternalitasnya tinggi (Riady, 2005). Menurut Putra (2006), penggolongan PHM srategis didasarkan pada tiga kriteria. Pertama, secara ekonomis penyakit tersebut dapat mengganggu produksi dan reproduksi ternak (secara signifikan) dan mengakibatkan gangguan perdagangan. Kedua, secara politis penyakit itu dapat menimbulkan keresahan pada masyarakat, umumnya dari kelompok penyakit zoonosis. Dan ketiga, secara strategis penyakit ini dapat mengakibatkan mortalitas yang tinggi, dan penularannya relatif cepat, sehingga perlu pengaturan lalu lintas ternak atau produknya secara ketat.

Berdasarkan SK.Dir Jen Peternakan No: 103/TN.510/KPTS/DJP/0398, di Indonesia terdapat 11 PHM strategis, enam diantaranya menyerang ruminansia besar. Keenam PHM strategis tersebut adalah: Brucellosis, Antraks, Septicaemia Epizootica (SE), Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR), Bovine Viral Diarhea (BVD) dan Penyakit Jembrana (Riady, 2005).

Daftar PHM strategis yang meliputi penyakit pada ruminansia besar dan non ruminansia ini, setiap saat dapat mengalami perubahan (bertambah atau berkurang), tergantung situasi dan kondisi serta dinamika penyakit di Indonesia. Sementara saat ini, ada pula yang menyebutkan bahwa penyakit strategis ruminansia besar hanya lima yaitu, seperti tersebut di atas minus penyakit SE.

Pemusnahan sapi terjangkit penyakit Anthrax

Jenis-jenis Penyakit Hewan Menular (PHM) strategis

1.  Brucellosis

Brucellosis atau penyakit keguguran menular pada sapi adalah PHM yang disebabkan oleh bakteri Brucella abortus. Di Indonesia, penyakit ini sudah diketahui sejak tahun 1925. Kemudian semakin meluas dan banyak kasus brucellosis pada sapi dilaporkan dan penyebarannya telah meliputi banyak provinsi di tanah air, terlebih lagi setelah banyak sapi diantarpulaukan dari daerah sumber bibit ke daerah transmigrasi untuk dikembangbiakkan. Sebagai contoh, dalam kurun waktu lima tahun (1985–1990), kejadian brucellosis di daerah sumber bibit sapi bali yaitu Sulawesi Selatan dan NTT relatif tinggi yakni 14,3 dan 6,6%. Kasus yang sama juga dijumpai di daerah penyebaran sapi bali (di Lampung, bengkulu, Sumatra Selatan, Riau dan Sumatera Utara) (Sudibyo, et al., 1991).

Pada umumnya, serangan brucellosis menimbulkan keguguran pada hewan bunting muda dan terus terjadi pada setiap kebuntingan. Hal ini disebabkan oleh endotoksin yang dihasilkan oleh B. abortus pada uterus yang dapat menimbulkan aborsi akibat plasentitis dan endometritis. (Sudibyo, 1996).

Predileksi B. abortus dalam tubuh hewan penderita adalah di kelenjar pertahanan tubuh. Pada saat sapi bunting bakteri ini akan berkembangbiak di dalam uterus dan menyebabkan peradangan. Sudrajat (2004) menyebutkan bahwa, pada penyakit ini, kuman akan tetap tinggal di jaringan induk semangnya selama hidup dan tidak memperlihatkan tanda sakit. Oleh karena kasus subklinis inilah yang menyulitkan pemberantasan brucellosis.

Dalam studi patogenitas B. abortus telah dapat dibuktikan bahwa, B. abortus biotipe 1 isolat lapang merupakan kuman patogenik yang mampu menimbulkan keguguran pada sapi. Isolat tersebut dapat menimbulkan infeksi yang meluas di dalam tubuh sapi, sehingga jaringan ambing, susu, kolustrum, cairan uterus, jaringan abortus dan lgl supramamare dapat isolasi kembali kumannya. (Sudibyo, 1996).

2.  Antraks

Antraks atau radang limpa adalah penyakit menular yang disebabkan oleh Bacillus anthracis, bersifat fatal, baik pada hewan maupun pada manusia. Oleh karena itu, penyakit ini termasuk penyakit zoonosis dan penyakit strategis yang keberadaannya di tanah air kita perlu diwaspadai. Keberadaan antraks pada hewan di Indonesia, telah dibuktikan secara laboratorik sejak tahun 1885. Sejak itu sampai sekarang antraks dianggap penting, karena banyak menyerang ternak rakyat. Ternak ruminansia besar (sapi dan kerbau) digolongkan hewan yang paling rentan terhadap antraks.

Di Jawa Tengah pernah terjadi kasus kematian sapi perah akibat antraks pada tahun 1990. Dalam kurun waktu enam bulan sebanyak 1296 ekor sapi mati terserang antraks di lokasi breeding farm. Selain itu, dilaporkan pula adanya 97 kasus antraks yang menyerang manusia di Kabupaten Semarang dan Boyolali (Nurhadi, et al., 1996). Sementara itu, di beberapa provinsi lain di Indonesia juga diketahui sebagai daerah antraks yaitu, NTB dan NTT. Selama 11 tahun (1984-1994), kasus antraks di Provinsi NTB terjadi hampir setiap tahun, dan laporan kasus terbanyak di Pulau Sumbawa (Martindah dan Wahyuwardani, 1998).

Jenis ternak yang paling banyak terserang adalah sapi dan kerbau. Pada akhir tahun 1995, bertepatan permulaan musim penghujan dilaporkan antraks menyerang ternak kerbau dan manusia di kab Ngada, NTT (Hardjoutomo dan Purwadikarta, 1996).

3.  Septicaemia Epizootica (SE)

SE atau penyakit Ngorok adalah penyakit menular yang bersifat akut, disebabkan oleh kuman Pasteurella multocida, terutama menyerang kerbau dan sapi, yang ditandai dengan suara ngorok dan bronchopneumonia akut (Dharma dan Putra, 1997).

Penyebaran SE sudah meluas, hampir ke seluruh provinsi di Indonesia. Ledakan penyakit SE biasanya diawali dengan kematian hewan secara mendadak. Pada kerbau, sering ditemukan kasus akut atau perakut dan kematian terjadi dalam waktu 24 jam, tanpa menunjukkan gejala awal, kecuali pada infeksi buatan pada hewan percobaan (Chancellor, et al., 1996).

Infeksi buatan dengan menyuntikkan kuman P. multocida B:2 (1 ml kultur yang mengandung 4 x 108 CFU) pada seekor kerbau pernah dicoba oleh Priadi dan Natalia (2000). Hasilnya menunjukkan bahwa, gejala klinis mulai terlihat setelah 4 jam pascainfeksi berupa: mata kemerahan, ekskresi cairan hidung dan suhu tubuh meningkat hingga 43° C. Makin lama gejalanya makin parah dan akhirnya hewan mati dalam waktu 24 jam pasca infeksi. Dikatakannya pula bahwa, kerbau lebih peka terhadap SE dibandingkan sapi. Selain demam, juga terlihat gangguan pernafasan dan kebengkakan daerah leher yang meluas ke atas dan ke daerah dada. Sementara itu, perubahan Patologi Anatomi (PA) berupa edema, pneumonia dan ptechiae pada saluran pernafasan bagian atas.

4.  Infectious Bovine Rhinotracheitis (IBR)

IBR adalah penyakit menular pada sapi dan kerbau yang disebabkan oleh Bovine herpesvirus-1 (BHV-1), yang penularannya dapat terjadi melalui perkawinan alam atau inseminasi buatan (IB). Isolat lokal BHV-1 yang berasal dari semen sapi jantan, mukosa vagina dan mokosa hidung sapi dapat menularkan penyakit IBR.

Hal ini telah dibuktikan oleh Damayanti dan Sudarisman (2005) dengan menginfeksi isolat tersebut pada sapi Bali. Hasilnya menunjukkan bahwa, isolat BHV-1 dapat menimbulkan respon klinis IBR berupa demam, gangguan respirasi dan reproduksi. Secara PA mukosa nasal choncha dan mukosa vagina mengalami hiperemis dan pneumonia. Secara mikroskopis sapi menderita rhinitis, tracheitis, pneumonia dan vulvovaginitis yang bersifat non supurative. Mukosa nasal concha dan trachea merupakan target organ dari virus BHV-1. Hal ini dapat dideteksi dengan pewarnaan imunohistokimia, nampak adanya antigen pada sel epitel mukosa dan epitel kelenjar pada nasal concha dan trachea. Dan antigen ini tidak dapat terdeteksi selain pada organ tersebut (Damayanti dan Sudarisman, 2005)

5.  Bovine Viral Diarrhea

Bovine Viral Diarrhea (BVD) atau Diare Ganas Sapi (DGS) adalah penyakit hewan menular yang akut dan sering berakibat fatal, disebabkan oleh virus dari genus Pestivirus dari famili Togaviridae (Dharma dan Putra, 1987). Letupan wabah diare ganas pada sapi dimulai pada pertengahan tahun 1988, di Bali yang menyerang sapi segala umur, jantan dan betina dengan gejala klinis lemah, kurang nafsu makan, demam, diare profus, lesi dan erosi pangkal lidah dan dehidrasi. Morbiditas 60% dan mortalitasnya 1 – 2%. Kemudian wabah diare ganas pada sapi bali dilaporkan setelah sapi bali yang baru didatangkan dari Sulawesi Selatan ke Kalimantan Barat, pada akhir Oktober 1989. Kematian yang terjadi selam pengiriman dan setelah dibagikan ke petani mencapai 19,4%. (Wiyono, et al., 1989).

6.  Penyakit Jembrana (PJ)

PJ adalah penyakit akut pada sapi Bali yang ditandai dengan demam dan pembengkakan kelenjar limfe di bawah kulit. Penyakit ini muncul pertama kali di Kabupaten Jembrana pada tahun 1964 dan menimbulkan kematian puluhan ribu ekor sapi Bali, disebabkan oleh Lentivirus dari famili Retroviridae (Dharma, et al., 2003).

PJ termasuk penyakit strategis, karena penyakit ini hanya menyerang sapi Bali, yang selama ini diketahui bahwa sapi Bali merupakan sapi primadona Indonesia yang  mempunyai kualitas daging yang cukup baik. Maka dari itu, pelestarian sapi ini merupakan upaya yang mutlak harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia (Hartaningsih, et al., 2001).

Dalam Seminar Nasional Penyakit Jembrana (BPPV VI DENPASAR, 2001) dirumuskan bahwa;
  1. PJ merupakan penyakit menular yang unik dan khas pada sapi Bali,
  2. Terdapat hanya di Indonesia,
  3. Disebabkan oleh virus Retro yang bersifat akut dan sulit ditumbuhkan di luar tubuh hewan serta
  4. Merupakan tantangan bagi dokter hewan di Indonesia.
Saat ini, PJ sudah tersebar luas di beberapa provinsi di Indonesia antara lain: Bali, Lampung, Jawa Timur, Sumatera Barat dan Kalimantan Selatan. (Dharma. 2000; Dharma, et al., 2003). Kejadian di Kalimantan Selatan, awalnya dijumpai penyakit pada sapi Bali yang mirip dengan PJ yang dilaporkan oleh dokter hewan yang bertugas di Kabupaten Tanah Laut. Menurut Hartaningsih, et al. (2003), PJ dapat didiagnosis oleh petugas lapangan dengan melihat gambaran klinis penyakit berupa demam tinggi, yang diikuti dengan diare berdarah, keringat berdarah dan pembesaran limfoglandula yang khas pada PJ.
Selanjutnya dikonfirmasi di laboratorium. Tenaya dan Hartaningsih (2005) menyebutkan bahwa, dalam rangka menegakkan diagnosa PJ secara tepat dan akurat dapat dilakukan dengan uji Polymerase Chain Reaction (PCR) untuk konfirmasi diagnosa lapangan atau uji laboratorium lainnya. Pada kasus di Kalimantan Selatan tersebut, dijumpai tiga ekor sapi Bali yang mengalami gejala keringat berdarah (Blood sweating) pada kulit paha dan bagian dada, kongesti pada konjunctiva mata, dasar lidah bagian ventral mengalami erosi dan perdarahan ringan, juga ada gejala diare. Secara Patologi Anatomi, dijumpai splenomegali, berat limpa 1800 gram, perdarahan, konsistensi empuk, bidang sayatan menonjol dan parenkim sangat rapuh. Secara mikroskopis terlihat atrofi folikel disertai hiperplasia parafolikuler sel-sel limforetikuler pada kelenjar limfe sapi Bali.
Gejala klinis dan gambaran patologi ini sangat konsisten akibat PJ, seperti yang pernah dilaporkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya. PJ di Kabupaten Tanah Laut mulai dilaporkan sejak tahun 1991. Sejak itu, penyakit PJ bersifat endemik di kabupaten ini dan letupan penyakit ini tercatat pada tahun 1994, 1999 dan 2003. (Dharma, et al., 2003). Sementara itu, letupan wabah penyakit yang menyerang sapi bali yang mirip PJ dilaporkan pertama kali di kecamatan Long Ikis, kabupaten Pasir, Kalimantan Timur, terjadi pada bulan Maret 2005 (Hartaningsih, et al., 2005).

Comments

Popular posts from this blog

Anatomi Internal Ambing Serta Jalannya Susu Yang Di-Sintesis

Sistem Seleksi Tandem, Independent Culling Level dan Indeks Seleksi

Bangsa-bangsa dan Karakteristik Kerbau Perah

Manajemen Pemerahan Susu Sapi

Anatomi Tubuh Pada Ayam

Pemberian Pakan Babi Sesuai Penggolongan (Kelasnya)

Pemuliabiakan dan Seleksi Pejantan Sapi Perah

Sejarah dan Klasifikasi Bangsa-bangsa Babi

Seleksi Pada Ternak Domba

Penyembelihan dan Pengukuran Kualitas Karkas Babi