Prospek dan Arah Pengembangan Inovasi Peternakan Sapi Potong
Usaha sapi potong saat ini sebagian besar dilakukan oleh peternakan rakyat dengan skala usaha relatif kecil. Usaha ini biasanya terintegrasi dengan kegiatan lain sehingga usaha ternak bukan merupakan usaha pokok petani, tetapi hanya sebagai penunjang. Hal ini berkonotasi bahwa pendapatan dari ternak relatif rendah.
Di Indonesia, khususnya di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi, pemeliharaan sapi umumnya dilakukan secara ekstensif. Pada musim kemarau, sapi tampak kurus dan tingkat kematian tinggi karena kekurangan pakan dan terserang berbagai penyakit. Kondisi pemeliharaan seperti ini tidak akan mampu mengejar laju permintaan daging untuk memenuhi konsumsi dalam negeri 5 tahun ke depan apabila tidak jelas arah tujuan dan program untuk mengatasi masalah tersebut.
Impor daging dan sapi bakalan yang cenderung meningkat bukan semata-mata disebabkan adanya kesenjangan permintaan dan penawaran, tetapi juga karena kemudahan dalam pengadaan produk impor (volume, kredit, transportasi) serta harga produk yang relatif murah. Kondisi ini mengakibatkan peternak lokal tidak mampu bersaing dan kurang bergairah mengelola usahanya secara baik karena harga daging (sapi potong) di pasar domestik menjadi rendah.
Keadaan ini diperburuk oleh adanya daging impor ilegal dalam beberapa tahun terakhir, yang menyebabkan terpuruknya para peternak akibat harga daging dan sapi lokal menurun. Namun pada tahun 2005, dengan adanya penanggulangan daging ilegal dan naiknya harga sapi impor, para pengusaha / peternak mulai bergairah kembali untuk menggemukkan sapi lokal karena memberikan keuntungan yang signifikan.
Prospek
Permintaan produk peternakan yang meningkat cepat atau bahkan lebih cepat dari laju pendapatan konsumen menunjukkan bahwa struktur konsumsi bahan pangan telah bergeser dari dominan produk karbohidrat ke bahan pangan sumber protein terutama daging sapi. Selain karena meningkatnya pendapatan, kecenderungan perubahan pola konsumsi juga didorong oleh urbanisasi dan pengetahuan masyarakat akan gizi yang makin baik.Perpaduan antara peningkatan konsumsi per kapita dan penambahan penduduk akan menyebabkan permintaan terhadap produk peternakan terus meningkat dengan laju yang makin pesat. Artinya prospek pasar produk peternakan khususnya daging sapi cenderung membaik seiring dengan kemajuan ekonomi yang terefleksi dalam indikator kunci, yaitu kapasitas absorbsi pasar makin besar dan harga cenderung meningkat dibanding komoditas pertanian lainnya.
Prospek pasar yang makin membaik merupakan kekuatan penarik yang cukup besar sebagai landasan terjadinya ”revolusi merah” di negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia. Peternakan akan menjadi sumber utama pertumbuhan baru sektor pertanian yang ditopang oleh inovasi teknologi yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian.
Arah dan Sasaran Pengembangan
Pengembangan usaha peternakan sapi potong dalam 5 tahun ke depan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan daging sapi domestik melalui percepatan peningkatan produksi dalam rangka mengurangi ketergantungan impor dan pencapaian swasembada daging sapi pada tahun 2010. Pencapaian produksi ini dengan asumsi bahwa selama kurun waktu 5 tahun ke depan, populasi sapi potong meningkat 5,9%, jumlah penduduk bertambah 1,45%, dan konsumsi daging sapi per kapita naik 5,3%/tahun.Pada tahun 2005, jumlah rumah tangga petani mencapai 20.171.140, sedangkan rumah tangga peternak 4.980.302. Dari jumlah rumah tangga peternak tersebut, 58% adalah rumah tangga peternak sapi potong atau sebanyak 2.888.575, dengan tingkat pendapatan yang relatif rendah dan kontribusi usaha ternak hanya 17-30% terhadap total pendapatan. Apabila target pendapatan petani US$2.500 untuk sektor pertanian maka subsektor peternakan dapat memberikan kontribusi pendapatan US$1.500 (60%) dan sebagian besar (48%) berasal dari usaha sapi potong.
Untuk mencapai target tersebut maka arah pengembangan pola usaha sapi potong yang bersifat ekstensif harus diubah ke pola usaha intensif dengan memanfaatkan sumber daya lokal yang dimiliki petani, khususnya petani berlahan sempit. Pola usaha intensif melalui SITT, selain meningkatkan produksi daging dapat pula membangkitkan kembali fungsi dan peran ternak sapi/kerbau sebagai sumber tenaga kerja, pupuk, dan gas bio yang merupakan sumber energi terbarukan.
Penggunaan traktor untuk pengolahan tanah di daerah dengan pola tanam intensif secara selektif dapat dikurangi karena sudah tidak efisien lagi dan memerlukan biaya investasi dan operasional yang tinggi, serta berdampak meningkatkan penggunaan BBM. Jika harga traktor Rp15 juta, masa pakai 7-8 tahun, dan biaya operasional Rp5 juta maka dana yang dibutuhkan mencapai Rp20 juta. Setelah masa pakai habis, traktor tidak memiliki nilai lagi karena hanya merupakan besi tua. Apabila dana tersebut digunakan untuk membeli sapi/kerbau maka dapat diperoleh 4 ekor sapi/kerbau, dan selama 7-8 tahun akan bertambah menjadi sedikitnya 20 ekor dengan nilai yang lebih tinggi. Di samping itu, tanah yang kurang subur dapat diperbaiki dengan menggunakan pupuk kandang dari kotoran ternak yang jumlahnya sekitar 70-80 ton.
Indonesia dalam beberapa tahun mendatang akan mengalami krisis bahan bakar sebagaimana dialami oleh negara lain, khususnya minyak tanah untuk penerangan dan memasak. Kotoran sapi jika difermentasi secara anaerob akan menghasilkan gas bio (metan) dalam jumlah banyak bersama CO2. Metan inilah yang dapat dibakar untuk keperluan penerangan dan memasak.
Kontribusi gas bio bagi kehidupan manusia adalah dalam hal suplai bahan bakar, pupuk organik, masalah sanitasi,kesehatan lingkungan, dan kontrol polusi lingkungan. Oleh karena itu, sangatlah tepat bahwa kita sebagai insan peternakan perlu mengembangkan gas bio sebagai sumber energi terbarukan. Hal ini karena kotoran ternak merupakan sumber utama dalam produksi gas bio, serta menjadi salah satu penyebab utama polusi lingkungan, dan gangguan kesehatan, khususnya di daerah peternakan.
Digest anaerobics merupakan salah satu cara atau proses untuk menghilangkan gangguan lingkungan. Oleh karena itu, pemanfaatan instalasi gas bio selain difokuskan pada penyediaan bahan bakar untuk keperluan penerangan dan memasak dapat pula diarahkan pada penanggulangan polusi dan pemanfaatan untuk produksi protein bagi ikan dalam integrated farming system. Di sinilah SITT makin berperan dalam pengumpulan kotoran ternak dan pengembangan usaha.
Sumber: Pengembangan Inovasi Pertanian (Uka Kusnadi, 2008: 189-205)
Comments
Post a Comment